Di awal tulisan ini saya ingin bercerita tentang pengalaman buruk yang terjadi di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, saat saya akan terbang dengan salah satu maskapai dari Jakarta menuju Jogjakarta.
Jadual penerbangan saya adalah pukul 07.35 WIB dan saya sampai di bandara tepat waktu yaitu jam 06.45 WIB karena sehari sebelumnya saya telah melakukan check in melalui web. Seperti sebelumnya, saya ke counter check in hanya untuk memastikan pintu keberangkatan dan saya diminta untuk langsung naik. Tetapi ketika saya sampai di pintu keberangkatan ada petugas yang menghalangi saya untuk masuk. Tetapi saya tetap berjalan dan menuju pintu masuk pesawat. Dari jauh mereka sudah melihat saya, tetapi anehnya ketika saya mendekati pesawat, pintunya malah ditutup. Akhirnya saya tidak bisa naik pesawat tersebut dengan alasan yang tidak jelas. Tapi saya yakin bahwa kursi saya dipakai oleh oknum yang berani membayar mahal.
Kejadian ini sangat merugikan karena saya harus berangkat dengan penerbangan selanjutnya. Ini berarti saya harus membatalkan beberapa rencana yang sudah tersusun rapi. Kejadian ini menurut saya sangat aneh karena pesawat berangkat lebih awal dengan alasan yang tidak masuk akal dan tanpa pemberitahuan sebelumnya.
Akhirnya saya harus mengeluarkan komplain keras kepada pihak maskapai ‘warna merah’ tersebut. Kebetulan komplain saya diterima dan mereka memberikan solusi untuk terbang pada jam 09.00 WIB. Selain saya, ternyata juga ada beberapa penumpang lain yang tidak diijinkan naik pesawat tetapi pasrah menerima keputusan dari maskapai tersebut untuk tidak bisa terbang di jam 9.00 WIB. Ada penumpang yang saya sempat kenalan, akhirnya harus berangkat dari Jakarta pada pukul 12.25 WIB, padahal mereka ada acara di Jogjakarta di pagi hari.
Dari cerita tersebut di atas, Anda pasti juga setuju jika saya mengatakan bahwa maskapai tersebut belum menjalankan bisnis dengan prinsip Service Excellence. Mereka tidak menganggap bahwa penumpang adalah ‘manusia yang harus dihargai’. Mereka masih punya anggapan bahwa penumpang-lah yang ‘perlu’ sehingga mereka bisa berbuat semena-mena. Mereka juga belum memiliki kesadaran bahwa bisnis tidak akan berjalan tanpa customer (no customer no business). Mungkin mereka merasa di atas angin karena jumlah pesawatnya cukup banyak, merasa dibutuhkan, dan bisnisnya sedang naik daun.
Sikap arogan inilah yang menjadi tanda-tanda buruk dalam bisnis. Jika mereka tidak segera melakukan perbaikan prosedur pelayanan, tidak mustahil dalam waktu dekat mereka akan ditinggalkan oleh customernya. Ini berarti bisnis mereka akan hancur. Ingat, dalam sejarah bisnis – tidak ada brand yang berumur panjang jika tidak care dengan customernya.
Pesan saya kepada semua pebisnis, janganlah arogan kepada customer dan mengambil keputusan-keputusan yang merugikan mereka. Peganglah prinsip bahwa bisnis Anda ada karena customer. Sadarkan semua karyawan Anda untuk selalu menghargai customer karena merekalah yang memberikan salary.
Sebagai pebisnis. Anda tidak boleh merasa sebagai satu-satunya penguasa bisnis di sektor tertentu ‘seperti yang dilakukan oleh makspai penerbangan yang saya sebut di atas’. Sebesar apapun bisnis Anda, tidak akan pernah bisa bertahan dan akan selalu bisa dikalahkan kompetitor jika Anda tidak selalu ‘siap siaga’ memberikan hal-hal terbaik kepada customer. Sekali lagi No Customer No Business.
Written by,

Senior Business Consultant | UMKM Expert
DK Consulting Group Jakarta
Email: info@djokokurniawan.com | IG: djoko.kurniawan | www.djokokurniawan.com